K V K
(Koin VS Kerikil)
-Refleksi syukur seorang manusia-
Seorang pemborong (kontraktor) mendapatkan proyek besar membangun sebuah
apartemen yang megah dan mewah. Pemborong itu kemudian mengumpulkan para
pekerjanya untuk menjelaskan rencana pembangunan apartemen itu. Pembangunan
apartemen itu berjalan dengan baik dan lancar.
Suatu hari, sang pemborong datang untuk mengawasi pekerjaan pekerjanya.
Setelah berjalan berkeliling, ia naik ke lantai 10 untuk mengamati sudah sejauh
mana rencana pembangunan itu dilaksanakan. Dari atas sana, dia melihat pekerjanya di lantai 5 sedang berteriak-teriak
ke bawah. Rupanya, ia sedang memanggil penanggung jawab adonan pasir di bawah
untuk memberitahu kalau adonan pasir di lantai itu perlu ditambah lagi karena
hampir habis. Tapi si penanggung jawab adonan itu tidak mendengarnya. Pekerja
yang memanggil2 tadi tampak kesal dan putus asa karena panggilannya tidak
didengar. Lalu ia memanggil beberapa temannya untuk memanggil bersama-sama.
Sayangnya si penanggungjawab adonan pasir itu tak juga mendengar mereka.
Melihat hal itu, sang pemborong yang sejak tadi memperhatikan, terpikir
cara lain untuk memanggil si penanggung jawab adonan tanpa harus turun ke bawah
terlebih dulu. Mungkin kalau ia menjatuhkan sesuatu dari atas, penanggungjawab
adonan pasir itu bisa mengerti. Tapi tentu ia tak mungkin menjatuhkan jam
tangan atau sepatunya. Ia ingat di sakunya ada uang koin, mungkin cukup aman
untuk di lempar. Uang itu dilemparkannya ke bawah dan mengenai punggung si
penanggungjawab adonan. Pemborong itu tersenyum
yakin bahwa penanggungjawab adonan itu akan mendongak ke atas mencari
sumber jatuhnya benda yang mengenainya.
”Aduh, siapa nih yang lempar duit ini. Tapi lumayanlah,” ucap si
penanggungjawab lalu mengambil uang koin itu dan memasukkan ke saku bajunya
sambil menoleh ke kanan kiri.
”Tidak sesuai harapan. Mungkin ia tidak tahu maksudku,” batin sang
pemborong. Ia merogoh kantongnya lagi dan menemukan uang koin lagi.
”ini yang terakhir. Semoga ia mendongak ke atas,” harap sang pemborong.
Tapi ternyata si penanggungjawab masih belum ‘ngeh’. Dia mengambil koin itu
dengan tersenyum dan memasukkan lagi ke kantongnya.
Si pemborong bingung apalagi yang bisa di lempar tanpa membahayakan
penanggungjawab itu dan pekerja yang lain tentunya. Akhirnya ia mengambil
sebutir kerikil dan melemparkannya ke bawah tepat mengenai tangan si
penanggungjawab. Penanggung jawab itu langsung mendongak ke atas dan berteiak
dengan ”Woi! Siapa yang ngelempar gue...”
Para pekerja di lantai 5 yang dari tadi menunggu reaksi si penanggung
jawab segera memanfaatkan keadaan itu untuk meminta adonan pasir lagi.
Kawan, kira-kira apa yang bisa kita maknai dari kisah ini?
Ya, kita hidup sekarang ibarat membangun apartemen. Lantai bawah ibarat rumah dunia kita, dan lantai atas ibarat rumah
akhirat kita. Rumah yang akan kita tinggali kelak. Seringkali kita sibuk
membangun yang dibawah saja. Mencapai sesuatu yang sifatnya keduniawian saja.
Kita lupa kalo suatu hari kita akan mati, dan setelah itu akan ada kehidupan
yang lain. Kalo kita tidak mempersiapkan bekal, kita akan mati tersiksa oleh
rasa haus dan lapar yang kita buat sendiri. Untuk membangun rumah disurga, kita
butuh bahan baku, kawan. Kalau bahannya kurang, rumah itu tak akan jadi,
mungkin hanya setengah jadi, atau kalo beruntung bisa hampir jadi. Semua
tergantung pada usaha dan persiapan kita. Kokoh atau tidak pondasi keimanan
bangunan rumah kita, seberapa banyak bahan bangunan ibadah wajib untuk menyusun
dinding rumah kita, seberapa banyak bahan-bahan ibadah sunnah yang bisa
memperindah rumah kita, seberapa kuat daya listrik tilawah yang kita siapkan
untuk menerangi rumah kita, sebarapa banyak cadangan makanan infak dan amal
jariyah yang kita siapkan agar kita tak kehausan dan kelaparan? Surga itu
memang mahal kawan. Kalau kita ingin apartemen (surga) di tingkat tertinggi dan
terindah, maka modal kita tak cukup hanya dengan menggugurkan kewajiban. Semua
itu tak bisa diraih dengan kemalasan dan istirahat yang banyak.
Sementara itu, sebagai penanggungjawab adonan (bahan bangunan), kita juga
harus peka. Allah telah memanggil kita dan mengingatkan kita untuk mengirimkan
bahan bangunan rumah kita di akhirat dengan cara yang indah. Allah memberikan
rezeki yang cukup, kenikmatan hidup, tapi kita mengambilnya tanpa
berterimakasih, bahkan menoleh padanya pun tidak. Tapi apakah lantas Allah
murka? Begitu sayangnya sampai Allah berhusnudzon bahwa kita tidak mengerti
dengan kenikmatan yang diberikanNya adalah panggilan dariNya pada kita. Ia
memanggil kita lagi dengan kenikmatan yang lain, tapi kita tetap juga tak
berbalik kepadaNya. Sampai Ia dengan sedih memberikan
pada kita cobaan/peringatan ringan. Hanya sebutir kerikil, hanya masalah yang
kecil. Karena Ia tak ingin kita tersakiti dan menyakiti orang-orang disekitar
kita. Kalau masih tak mengerti juga, sungguh keterlaluan.
Pada saat Allah memberikan masalah kecil itulah, kita baru ingat padaNya.
Ingat akan kenikmatan yang telah diberikanNya kepada
kita selama ini. MenghadapNya pun kita seringkali untuk memintaNya
menyelesaikan masalah kita.
Kawan, kapan kita bisa membalas cinta dan kemurahanNya? Kapan kita bisa
tulus menghadapkan wajah kepadaNya? Sungguh Allah sangat mencintaiMu, jadi
jangan kecewakan Ia.
Bersyukurlah mumpung masih punya kesempatan untuk mengucapkannya,
Berterimakasihlah mumpung masih punya waktu untuk menyampaikannya.
1000 missed
called
1 new number
Missed 1 :
Allah
He will never
stop calling
No matter how
many times u missed His calls
Till u hear
and answer
Allah Loves
you
Thanks 4
remember me ‘bout that
seorang
sahabat saat membangun peradaban baru
0 comments:
Posting Komentar