“Hei! Kamu sedang apa?” tegur Fara pada seorang anak.
Anak
lelaki itu kaget dan gelagapan. Ia lekas berdiri sambil memegangi
punggungnya. Masjid sedang sepi. Fara sepertinya datang terlalu awal
untuk rapat dengan remaja masjid lainnya.
“Nggak apa-apa, Kak. Cuma lihat-lihat,” jawab si anak sewajar mungkin. Padahal jantungnya sedang berdebar keras.
Gelagatnya
membuat Fara curiga. Apalagi anak itu terlihat asing. Sepertinya bukan
anak komplek sini. Fara melirik kotak amal. Masih aman di tempatnya dan
tertutup rapat.
“Astaghfirullah,” gumam Fara atas prasangka buruknya.
Anak
lelaki itu berjalan mengitari Fara berusaha mencapai pintu. Fara hanya
memperhatikan saja. Namun saking gugup dan terburu-buru, bocah itu malah
menjatuhkan sesuatu.
“Buk!”
Fara berjalan mendekat. Ia mengambil benda yang terjatuh. Alih-alih lari, si anak justru terpaku di tempatnya berdiri.
“Al Qur’an?” Fara membuka Al Qur’an itu dan melihat stempel masjid di halaman depannya.
“Dek, sini duduk dulu sama kakak. Namamu siapa?”
“Ilham. Maaf, Kak.” Ucap anak itu lirih.
Fara tak ingin menuduh. Ia juga tak mau membuat anak itu pergi karena takut. Fara berusaha bersikap seramah mungkin.
“Maaf untuk apa?” tanya Fara pura-pura tidak mengerti.
“Maaf tadi aku mau ambil Al Qur’an itu.” Jawab Ilham sambil menunduk.
“Ini punya kamu?” Ilham menggeleng.
“Kalau mengambil yang bukan milikmu berarti apa?”
“Mencuri.”
“Perbuatan baik apa buruk?”
“Buruk.”
“Kenapa dilakukan?”
“Aku ingin punya.” Fara tercekat. Matanya berkaca-kaca.
Ilham
lalu bercerita kalau ia hanya punya Juz’ama. Itu pun sudah lecek saat
ia memperlihatkannya pada Fara. Mungkin karena sudah sangat sering
dibaca dan dibawa kemana-mana. Sudah lama Ilham ingin punya Al Qur’an.
Emak dan bapaknya belum punya cukup uang. Makan saja terkadang mereka
masih hutang atau menerima pemberian tetangga yang berbelas kasih.
“Aku
ingin membaca surat-surat Al Qur’an yang lain, Kak. Terutama buat
Bapak. Bapak sakit, cuma bisa diam di kasur. Bapak bilang suka dengan
suaraku saat mengaji.” Fara tak bisa berkata apa-apa.
“Kak,
katanya masjid kan rumah Allah. Tadi aku sudah bilang Allah kalau aku
minta Al Qur’annya satu.” Lanjut Ilham berusaha membela diri.
Fara
menengok ke rak Al Qur’an. Ada beberapa tumpuk Al Qur’an di sana.
Sebagian berdebu karena jarang dibaca. Fara menyeka air matanya yang
hampir jatuh. Ada perasaan pilu yang menyusup dalam hatinya.
“Ya
sudah. Yang ini dikembalikan saja ya. Masjid memang rumah Allah. Tapi
Al Qur’an ini disediakan untuk jamaah yang mau ngaji di sini.”
Ilham mengangguk kecewa.
“Sebagai
gantinya, ini buat kamu.” Fara menyodorkan Al Qur’annya. Meskipun itu
Al Qur’an favoritnya tapi toh ia bersyukur masih dimampukan untuk
membelinya lagi.
“Benar Kak ini buatku?” mata Ilham berbinar. Ia langsung membuka-buka Al Qur’an itu.
“Yang rajin dibaca ya. Bacakan dengan bacaan yang paling indah buat Bapak Ilham.” Pesan Fara.
“Bagus. Syaamil Qur’an,” ucapnya.
“Kakak namanya Syamil?” tanya Ilham polos. Fara tertawa.
“Bukan. Nama kakak Fara.” Jawabnya masih mengulum senyum.
Sepertinya
di rapat remaja masjid kali ini, Fara mau mengusulkan program baru di
acara bakti sosial nanti. Satu Qur’an untuk Satu Keluarga. Agar
anak-anak yang belum beruntung seperti Ilham bisa menyalurkan
kerinduannya membaca Al Qur’an.
*490 kata
FF ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Cinta Al Qur'an oleh Syaamil Qur'an dan Paberland.
Selasa, 17 Februari 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar