Get me outta here!

Selasa, 13 Maret 2012

Berbagi : Haruskah Menunggu Memiliki Sesuatu?

Berbagi dengan Ilmu dan Amal

Kadang kala ketika manusia diminta untuk berbagi, ada yang mengelak, “Aku tidak punya apa-apa untuk diberikan.” Seolah untuk berbagi selalu dengan materi, uang atau barang. Padahal sesungguhnya Allah telah berbaik hati mengaruniakan banyak potensi kepada manusia. Untuk dirinya sendiri, juga untuk kemaslahatan orang lain. Kepada seorang perempuan sederhana aku belajar tentang nasehat kecil ini.

Terakhir aku bertemu dengannya, sudah bertahun yang lalu saat aku masih kuliah di Bogor. Aku tidak tahu persis siapa namanya, tetapi ia biasanya dipanggil Teh Dewi, sedangkan Dewi itu adalah nama anaknya.


Teh Dewi tinggal bersama suami dan anak semata wayangnya di Desa Sukadamai yang terletak di pinggiran Kota Bogor. Untuk mencapai rumahnya, aku dan teman-teman harus dua kali naik angkot dari kampus, lalu berjalan kaki sekitar 15-20 menit. Awalnya, kakak tingkat yang pernah KKN di desa itu yang mengenalkanku pada Teh Dewi dan keluarganya.

Angkot terakhir kami berhenti di sebuah perumahan di depan Swalayan Jogja. Kami turun di situ, lalu berjalan melewati kompleks perumahan dengan tipe rumah menengah ke atas. Semakin jauh ke dalam, kami masuk ke sebuah perkampungan. Di sini Teh Dewi tinggal. Kesan timpang langsung muncul di hatiku. Antara apa yang kami lewati tadi dan apa yang kami lihat sekarang.

Rumah Teh Dewi tidak seberapa luas. Ruang tamu, ruang tengah, kamar, dapur, dan kamar mandi. Semua jumlahnya satu. Dinding rumahnya perpaduan sedikit dinding bata, papan kayu, dan gedek di bagian belakang.

Saat kami datang, anak-anak sedang ramai mengaji di dalam rumahnya. Kami menunggu di beranda sambil melihat-lihat koleksi tanamannya di halaman yang sempit.
Teh Dewi menyambut kami ramah, di pertemuan kami yang pertama dan pertemuan-pertemuan berikutnya. Kakak tingkatku mengenalkan kami padanya. Apa yang membuat Teh Dewi istimewa?

Orangnya manis, perawakannya kecil. Namun yang lebih manis adalah keramahannya. Anak-anak yang tadi memenuhi rumahnya adalah anak-anak tetangga yang ia ajar mengaji. Kadang juga ditambah baca tulis karena sebagian dari mereka tidak sekolah.
Aku pikir Teh Dewi seorang guru dan dia mendapat bayaran atas itu. Ternyata aku salah. Ia hanya masyarakat biasa yang kebetulan tinggal di Sukadamai. Pendidikan menengah atas pun entah ia tamatkan atau tidak. Hanya dengan bekal ilmunya di madrasah, ia relakan sebagian waktunya mengajar mengaji anak-anak tetangga. Hatiku terenyuh.

Kehidupan ekonomi keluarga Teh Dewi tidak lebih baik daripada tetangga lainnya. Tapi setiap kali datang, selalu ia hidangkan makanan dan minuman. Kami jadi merasa merepotkan. Sesekali kami memang datang ke rumahnya untuk berbagi pengalaman hidup. Terkadang juga meminta masukan karena saat itu kami sedang ada program pengabdian masyarakat. Kami berniat membantu anak-anak yang putus sekolah untuk meneruskan pendidikan. Dan ternyata itu bukan hal yang mudah.

Teh Dewi berusaha menjadi contoh untuk tetangganya tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Sesulit apapun, ia dan suaminya mengupayakan agar Dewi bisa terus sekolah. Kata Teh Dewi, selain karena ekonomi, kesadaran orangtua untuk mengirim anak-anaknya sekolah juga masih kurang. Ada yang pernah sekolah lalu putus karena membantu bekerja atau mengasuh adiknya. Ada juga yang belum pernah sekalipun menikmati bangku sekolah.

Dengan keterbatasan ilmunya Teh Dewi mengundang anak-anak itu ke rumahnya. Ia mengajari anak-anak mengaji dan baca tulis sekedarnya. “Paling tidak mereka bisa baca tulis walaupun nte sekolah, Teh,” begitu katanya. Wajahku pias karena malu.
Aku yang saat itu sudah hampir sarjana saja, belum bisa memberikan kontribusi apa-apa. Sedangkan Teh Dewi dengan pendidikan ala kadarnya punya semangat mendidik yang besar, bukan pada anaknya saja. Karena itu kami semakin bersemangat mengusahakan anak-anak yang putus sekolah di sana bisa kembali belajar di sekolah, minimal di PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Mengajar) yang gratis dan informal. Mungkin bagi Teh Dewi, prinsipnya adalah balighu anni walau ayah.

Selain kepeduliannya pada pendidikan, kepedulian sosial keluarga Teh Dewi juga cukup besar. Ia dan suaminya menjadi pengepul barang bekas. Maklum, tetangganya banyak yang nyambi menjadi pemulung. Selain membantu tetangga-tetangganya, yang ia lakukan juga bagian dari menjaga lingkungan karena menjadi bagian dari kegiatan daur ulang.

Sebagian orang terbiasa nyampah, dan sebagian lagi hidup dari sampah. Sebuah ironi hidup yang biasa ditemui di daerah perkotaan. Teh Dewi dan suaminya minimal telah membuka lapangan kerja karena ada beberapa orang yang membantu mereka menangani sampah dan barang-barang bekas di tempat pengepulan mereka.

Dalam interaksi yang singkat itu, keluarga Teh Dewi telah memberikan pelajaran padaku dengan apa yang telah mereka lalukan. Mereka memang bukan orang yang kaya secara materi. Tapi toh mereka tetap bisa berbagi kepada sesama dengan ilmu yang dimiliki. Juga berbagi rezeki meski dengan cara yang bagi orang lain mungkin di pandang sebelah mata.

Sesungguhnya kita selalu mampu untuk berbagi, bahkan hanya dengan senyuman sekalipun.

0 comments:

Posting Komentar