Serangga Sebagai Alternatif Pangan Sumber Protein Hewani
Pernah mencicipi gurihnya belalang atau jangkrik goreng? Mungkin beberapa dari Anda mengerutkan dahi ketika mendapatkan pertanyaan tersebut. Namun siapa sangka serangga yang biasa kita temui ini mempunyai cita rasa yang lezat dan mulai digemari banyak orang dari berbagai kalangan. Tak cukup itu saja, kuliner serangga ternyata sudah menjadi makanan yang populer di beberapa negara. Mulai dari serangga yang lazim sampai yang ekstrim untuk dikonsumsi.
Di Australia dan Amerika Selatan, rayap dikonsumsi sebagai cemilan. Jangkrik menjadi makanan favorit di Cina dan Jepang karena rasanya yang gurih dan proteinnya yang tinggi. Orang Thailand menjadikan kutu air sebagai kudapan yang digemari. Begitu juga dengan belalang yang menjadi primadona di Meksiko. Di Papua Nugini, larva kumbang kelapa biasa disantap mentah ataupun matang. Sedangkan di Korea dan Vietnam, kepompong ulat sutera yang telah diambil benangnya juga dikonsumsi. Bagaimana dengan di Indonesia?
Rasanya bukan hal baru bila beberapa jenis serangga, seperti jangkrik, belalang, ataupun rayap diolah menjadi makanan. Di daerah Gunung Kidul Jogjakarta, banyak ditemui belalang goreng yang dijual di pinggir jalan. Di Muntilan, sebagian belalang hasil tangkapan dikirim ke Jepang karena belalang dinilai kaya gizi dan rendah kolesterol. Bu Sri dari Riau terkenal sebagai pengusaha makanan berbahan jangkrik. Ia mengolah jangkrik menjadi bermacam snack, seperti peyek, biskuit, dan serundeng. Bahkan sebagian produknya diekspor ke Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura. Hal ini membuktikan kuliner serangga makin banyak peminat dan tidak kalah dalam cita rasa dibandingkan dengan pangan hewani lainnya.
Dari segi gizi, serangga-serangga ini mempunyai kandungan protein yang tinggi. Belalang segar mempunyai kandungan protein 26,8%, kandungan protein jangkrik 13,7%, dan rayap 20,4%. Bandingkan dengan protein udang segar yang berkisar 21%, daging sapi 18,8%, dan daging ayam 18,2%. Tidak kalah bukan? Selain kandungan protein, serangga-serangga ini juga mengandung zat gizi lain, seperti lemak, air, karbohidrat, dan serat. Karena itulah, serangga mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai alternatif pangan sumber protein.
Serangga, terutama belalang, jangkrik, dan rayap, relatif aman untuk dikonsumsi. Kecuali bagi penderita alergi seafood, sebaiknya menghindari mengkonsumsi serangga karena kandungan protein serangga yang tinggi bisa memicu alergi. Ketiga serangga tersebut halal dimakan asalkan tidak menimbulkan bahaya, misalnya beracun atau menjijikkan. Dr Yusuf Al Qardhawi dalam kitab Al Halal wal Haram fil Islam menjelaskan bahwa hukum asal segala sesuatu yang Allah ciptakan dan manfaatnya adalah halal dan boleh, kecuali apa yang ditentukan hukum keharamannya secara pasti oleh dalil yang shahih/terpercaya. Dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu- menyampaikan“Kami berperang bersama Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sebanyak tujuh peperangan sedang kami hanya memakan belalang” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
Saat ini, serangga yang diolah menjadi makanan masih banyak diperoleh dengan cara diburu atau ditangkap dari alam. Bila kuliner serangga semakin populer dan banyak permintaan, tentu hal ini akan menyulitkan. Tidak di setiap musim ketersediaannya di alam dalam jumlah yang memadai. Penangkapan yang terus menerus secara masal dapat juga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Oleh karena itu, upaya budidaya hendaknya dilakukan.
Sudah banyak orang yang membudidayakan jangkrik. Tapi kebanyakan sebatas memenuhi permintaan untuk pakan ternak atau unggas peliharaan. Sedangkan budidaya belalang dan rayap, belum lazim dilakukan. Pembudidayaan serangga-serangga ini relatif mudah, teknologinya pun sederhana, juga tidak memerlukan investasi yang besar. Perkembangbiakan serangga tergolong cepat karena siklus hidupnya yang pendek. Satu indukan dapat menghasilkan ratusan telur dalam sekali masa reproduksi. Hal ini tentu menjadi potensi ekonomi yang layak diperhitungkan.
Bila semua aspek dan potensi tersebut bisa dikembangkan, tentu dapat mendukung ketahanan pangan, khususnya bagi rumah tangga. Undang-Undang No 7 Tahun 1996 tentang Pangan menjelaskan ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Lebih lanjut, dalam bab mengenai ketahanan pangan, pasal 49 ayat 1 (g) pemerintah melaksanakan pembinaan yang meliputi upaya untuk mendorong dan meningkatkan kegiatan penganekaragaman pangan yang dikonsumsi masyarakat serta pemantapan mutu pangan nasional. Menjadikan serangga sebagai salah satu alternatif pangan hewani kaya protein tentu termasuk dalam upaya penganekaragaman pangan yang dapat mendukung ketahanan pangan. Masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya akan protein dengan variasi konsumsi bahan pangan hewani.
Serangga tentunya bisa menjadi alternatif variasi sumber bahan pangan hewani. Pengolahan serangga menjadi aneka ragam jenis makanan dapat menjadi solusi kurangnya asupan protein hewani, khususnya pada masyarakat kelas menengah ke bawah. Bahkan bisa jadi jenis makanan ini malah menjadi buruan masyarakat kelas atas karena keunikan dan gizinya. Jadi ketahanan pangan, khususnya pangan sumber protein hewani, bagi individu dengan mudah dapat dicapai.
Namun wacana ini hanya akan tinggal wacana dan booming sesaat bila tidak diimbangi upaya dan dukungan dari pemerintah, khususnya dinas yang terkait. Walaupun serangga bukan jenis makanan baru, masyarakat tetap memerlukan penjelasan yang lengkap. Terutama mengenai keamanan, kehalalan, cara pengolahan yang benar, dan kandungan gizinya agar mendorong peningkatan konsumsi sumber protein alternatif ini. Selain itu, ketersediaan yang tidak kontinyu juga akan mengganggu daya serap produk olahan serangga di masyarakat. Kemungkinan serangga menjadi sumber protein hewani alternatif menjadi tidak bertahan lama. Karena itu perlu digalakkan sentra-sentra budidaya serangga konsumsi.
Satu hal lagi yang sering dikhawatirkan bagi para peminat budidaya ini adalah segi pemasaran. Maka ada baiknya selain melakukan pembinaan dalam hal budidaya, juga memfasilitasi pembinaan mengenai cara pengolahan serangga menjadi berbagai jenis makanan, serta aspek pemasarannya. Dengan memaksimalkan upaya-upaya tersebut, wacana menjadikan serangga sebagai alternatif pangan sumber protein hewani dapat terwujud.
Sumber Bacaan
Anonim. Belalang Sumber Protein Hewani Rendah Kolesterol. http://caffedesa.blogspot.com/2009/01/belalang-sumber-protein-hewani-rendah.html
Anonim. ‘Belalang’, Khas Gunung Kidul Yang Berprotein Tinggi. http://bisnisukm.com/%E2%80%98belalang%E2%80%99-khas-gunungkidul-yang-berprotein-tinggi.html
Anonim. 2011. Bisnis Budidaya Cacing dan Jangkrik serta Mengkonsumsinya, Bolehkah? http://alhikmah.ac.id/2011/bisnis-budidaya-cacing-dan-jangkrik-serta-mengkonsumsinya-bolehkah/
Anonim. 2010. Makan Jangkrik Lebih Sehat dari Daging Ayam, Sapi, dan Udang. http://doktersehat.com/makan-jangkrik-lebih-sehat-dari-daging-ayam-sapi-dan-udang/#ixzz1iTfkTJrp. 15 Februari 2010
Anonim. 2011. Daftar Serangga yang Lazim Dimakan Manusia. http://www.seruu.com/convertpdf.php?url_pdf=68608. 31 Oktober 2011
Ihsan, Fadhl. 2010. Pembahasan Binatang yang Halal dan Haram Dikonsumsi (2). http://fadhlihsan.wordpress.com/2010/02/06/pembahasan-binatang-yang-halal-dan-haram-dikonsumsi-2/
Koswara, Sutrisno. Serangga Sebagai Bahan Makanan. http://smallcrab.com/kesehatan/283-serangga-sebagai-bahan-makanan
Pambuka, SR. dan Adi PS. 2010. Budidaya Belalang Kayu untuk Atasi Kesulitan Ketersediaanya di Gunungkidul. http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/?ar_id=NzQ0MQ==. 31 Mei 2010
Undang Undang No 7 Tahun 1996 Tentang Pangan.
*) dibuat untuk diikutsertakan dalam lomba penulisan tentang serangga oleh Pusat Entomologi Indonesia
0 comments:
Posting Komentar